BAHASA MEDIA MASSA YANG MENYEJUKAN?
“pemirsa sedikitnya enam orang tewas dalam kecelakaan kendaraan di jalur pantura, akibatnya lalu lintas di sepanjang jalan tersebut macet”
….
Sihar Harianja, Jurnalis dan sekretaris FBMM
(Forum Bahasa Media Massa DIY)
Ini salah satu contoh format laporan kecelakaan melalui media televisi atau radio. Memang setiap media massa pasti laporannya serupa, tadi tidak sama. Sekilas jika kita melihat laporan tersebut tidak ada yang salah, baik dari struktur dan pola penyampaian yang tepat.
Namun jika kita mencermatinya, ada sebuah kata yang memprihatinkan banyak masyarakat, yaitu kata “sedikitnya” dan “tewas” Kata-kata seperti ini hampir muncul di semua media massa, baik cetak dan elektronik. Bahkan tambah dosa kata tersebut sering dimunculkan dalam sebuah headline surat kabar karena angka kecelakaannya yang besar.
Mengapa kata ‘sedikitnya’ selalu digunakan dalam kaidah yang tidak benar, meski angka tersebut digunakan bagi manusia sekalipun. Sementara kata sedikitnya lebih identik digunakan pada barang atau sekumpulan manusia dalam melakukan aktivitas. Kata ‘sedikitnya’ memang tidak memberi pengaruh yang besar bagi pembaca maupun penonton, karena alasannya untuk menentukan jumlah besar-kecilnya angka kecelakaan. Namun yang dinyatakan itu adalah untuk manusia. Angka sedikit maupun banyak tidak layak digunakan bagi manusia yang telah meninggal, karena mereka bukanlah barang yang bisa dibulatkan dengan angka. Jangankan enam, satu saja itu sudah menyatakan banyak karena mereka adalah manusia.
Memang ini selalu disepelekan kalangan media, apakah karena tidak mengetahui penggunaan kaidah moral dan sosial atau media tersebut tidak menyadari pentingnya penggunaan bahasa indonesia yang baik dan santun di media massa.
TD.Asmadi, ketua umum Forum Bahasa Media Massa pernah mengatakan, itulah media massa sekarang ini. Ada semacam keterburu-buruan dalam “melawan tenggat” dalam keterburu-burtuan itulah kadang kala unsur bahasa sering kacau balau. Penerbit atau para editor dalam perusahaan media massa sepertinya menyerah dalam otoritas deadline, sehingga tak jarang bahasa diabaikan kualitasnya.
Barangkali itulah realitasnya. Namun pertanyaannya, apakah tenggat ini harus menjadi alasan sehingga bahasa diabaikan? Semua tergantung dari hati nurani dari si wartawan/reporter dalam menulis berita. Jika hati nurani muncul, maka alunan bahasa yang enak dan segar meski dalam kondisi panas, dapat menetralkan situasi hati para pembaca. Sesempit apapun waktu yuang ada, media massa harus bertanggung jawab untuk menggunakan bahasa yang baik dan tepat.
Contoh-contoh laporan kriminalitas ataupun kecelakaan di Media massa memiliki keseragaman bahasa, kadang-kadang istilah yang salah atau yang dianggap tidak moral, menjadi dibakukan oleh sebagian media massa, apalagi kata-kata tersebut digunakan sekelompok surat kabar maupun televisi nasional yang mempunyai nama. Tentunya semua mediapun akan ikut menggunakan kata-kata tersebut.
Banyak surat kabar khususnya surat kabar kriminal memberitakan tentang kasus pemerkosaan. Dalam isi pemberitaan tersebut, si wartawan sering kali menceritakan kronologis kejadian pemerkosaan secara detail, mulai dari awal hingga ke bagian tubuh dan cara yang dilakukan si tersangka dalam melakukan pemerkosaan. Tentunya pemberitaan tersebut menimbulkan hasrat birahi dari si pembaca, ibarat membaca sebuah majalah porno.
Bahasa media massa selalu saja menjadi bahan pergunjingan orang. Lihat saja dalam buku 1001 kesalahan berbahasa yang disusun Zaenal Arifin dan Farid Hadi. Sebagian besar contoh kesalahan tersebut, diambli dari media massa. Demikian juga pada banyak buku lainnya.
Mengapa yang menjadi “sasaran” kesalahan itu selalu bahasa media massa? Mungkin karena bahasa media massa itu terbuka. Setiap saat orang dapat membaca atau mendengarnya. Boleh jadi juga karena mereka menganggap bahwa bahasa jurnalistik merupakan cermin masyarakat kita berbahasa.
Mungkin kita masih ingat tentang pemberitaan “Tangan Setiadji dibor dan kepalanya dipahat” Hampir 10 media memberitakan informasi tersebut. Tidak hanya informasinya saja yang salah, namun dari tata bahasanya sudah tidak layak untuk menjadi judul sebuah berita.
Jika semua media massa menerapkan bahasa yang tidak sesuai dengan kaidah moral, maka media massa tersebut sama saja seperti media-media kriminal lainnya yang memiliki kaidah tata bahasa yang memprihatinkan. Dewan pers pernah mencatat 4 surat kabar kriminal di Jawa ini memiliki ranking media performance terendah, karena kurang perform dalam code of ethics enforcement.
Wartawan senior, Rosihan Anwar dalam tulisannya di Kompas, 80 % wartawan Indonesia melakukan pemerasan, dan penyakit wartawan the bad guys yaitu, menghasilkan berita cloning, malas, dan bersikap taken from granted/ tidak bersikap kritis.
Tidak hanya media cetak saja, media elektronik juga banyak mengalami kesalahan yang kadang tidak disadari masyarakat. Ambil saja program kuliner, dalam tayangan tersebut si presenter sering menunjukan reaksi atau raut wajah berlebihan ke penonton dengan kata-kata “sedaaap…..atau hmm…” seolah-olah makanan yang dia makan enak. tentunya reaksi berlebihan seperti tersebut tidak pantas diperagakan dalam kehidupan sehari-hari, karena tanpa reaksi berlebihan seperti itupun masyarakat sudah bisa merasakannya.
Lagi-lagi dengan berita kriminal, sebagian televisi nasional memperagakan berita kriminal dengan penampilan presenter yang kriminal dan tata bahasa yang keras atau ala “Bang Napi”. Tentunya si televisi tersebut, tidak perlu menyikapi dengan sikap demikian. Meski berita yang dia sampaikan berita kriminal, tidak harus si presenter berpenampilan dan bersikap kriminal juga. Masyarakat sudah mengetahui, bahwa informasi yang disampaikan adalah program kriminal.
Hingga saat ini perkembangan media massa sangat besar sekali. Akankah etika berbahasa semakin dilupakan akibat persaingan dalam media massa tersebut. Masyarakatlah yang mampu menentukannya, marilah kita tinggalkan media yang tidak santun dalam berbahasa, karena mencintai bahasa berarti mencintai negara kita ini.