Mana Tata Krama Itu?

BAHASA MEDIA MASSA YANG MENYEJUKAN?

pemirsa sedikitnya enam orang tewas dalam kecelakaan kendaraan di jalur pantura, akibatnya lalu lintas di sepanjang jalan tersebut macet”

….

Sihar Harianja, Jurnalis dan sekretaris FBMM

(Forum Bahasa Media Massa DIY)

 

            Ini salah satu contoh format laporan kecelakaan melalui media televisi atau radio. Memang setiap media massa pasti laporannya serupa, tadi tidak sama. Sekilas jika kita melihat laporan tersebut tidak ada yang salah, baik dari struktur dan pola penyampaian yang tepat.

            Namun jika kita mencermatinya, ada sebuah kata yang memprihatinkan banyak masyarakat, yaitu kata “sedikitnya” dan “tewas” Kata-kata seperti ini hampir muncul di semua media massa, baik cetak dan elektronik. Bahkan tambah dosa kata tersebut sering dimunculkan dalam sebuah headline surat kabar karena  angka kecelakaannya yang besar.

            Mengapa kata  ‘sedikitnya’  selalu digunakan dalam kaidah yang tidak benar, meski angka tersebut digunakan bagi manusia sekalipun. Sementara kata sedikitnya lebih identik digunakan pada barang atau  sekumpulan manusia dalam melakukan aktivitas. Kata ‘sedikitnya’ memang tidak memberi pengaruh yang besar bagi pembaca maupun penonton, karena alasannya untuk menentukan jumlah besar-kecilnya angka kecelakaan. Namun yang dinyatakan itu adalah untuk manusia. Angka sedikit maupun banyak tidak layak digunakan bagi manusia yang telah meninggal, karena mereka bukanlah barang yang bisa dibulatkan dengan angka. Jangankan enam, satu saja itu sudah menyatakan banyak karena mereka adalah manusia.

            Memang ini selalu disepelekan kalangan media, apakah karena tidak mengetahui penggunaan kaidah moral dan sosial atau media tersebut tidak menyadari pentingnya penggunaan bahasa indonesia yang baik dan santun di media massa.

            TD.Asmadi, ketua umum Forum Bahasa Media Massa pernah mengatakan, itulah media massa sekarang ini. Ada semacam keterburu-buruan dalam “melawan tenggat” dalam keterburu-burtuan itulah kadang kala unsur bahasa sering kacau balau. Penerbit atau para editor dalam perusahaan media massa sepertinya menyerah dalam otoritas deadline, sehingga tak jarang bahasa diabaikan kualitasnya.

            Barangkali itulah realitasnya. Namun pertanyaannya, apakah tenggat ini harus menjadi alasan sehingga bahasa diabaikan?  Semua tergantung dari hati nurani dari si wartawan/reporter dalam menulis berita. Jika hati nurani muncul, maka alunan bahasa yang enak dan segar meski dalam kondisi panas, dapat menetralkan situasi hati para pembaca. Sesempit apapun waktu yuang ada, media massa harus bertanggung jawab untuk menggunakan bahasa yang baik dan tepat.

Contoh-contoh laporan kriminalitas ataupun kecelakaan di Media massa memiliki keseragaman bahasa, kadang-kadang istilah yang salah atau yang dianggap tidak moral, menjadi dibakukan oleh sebagian  media massa, apalagi kata-kata tersebut digunakan sekelompok surat kabar maupun televisi nasional yang mempunyai nama. Tentunya semua mediapun akan ikut menggunakan kata-kata tersebut.

Banyak surat kabar khususnya surat kabar kriminal  memberitakan tentang kasus pemerkosaan. Dalam isi pemberitaan tersebut, si wartawan sering kali menceritakan kronologis kejadian pemerkosaan secara detail, mulai dari awal hingga ke bagian tubuh dan cara yang dilakukan si tersangka dalam melakukan pemerkosaan. Tentunya pemberitaan tersebut menimbulkan hasrat birahi dari si pembaca, ibarat membaca sebuah majalah porno.

Bahasa media massa selalu saja menjadi bahan pergunjingan orang. Lihat saja dalam buku 1001 kesalahan berbahasa yang disusun Zaenal Arifin dan Farid Hadi. Sebagian besar contoh kesalahan tersebut, diambli dari media massa. Demikian juga pada banyak buku lainnya.

Mengapa yang menjadi “sasaran” kesalahan itu selalu bahasa media massa? Mungkin karena bahasa media massa itu terbuka. Setiap saat orang dapat membaca atau mendengarnya. Boleh jadi juga karena mereka menganggap bahwa bahasa jurnalistik merupakan cermin masyarakat kita berbahasa.

Mungkin kita masih ingat tentang pemberitaan “Tangan Setiadji dibor dan kepalanya dipahat” Hampir 10 media memberitakan informasi tersebut. Tidak hanya informasinya saja yang salah, namun dari tata bahasanya sudah tidak layak untuk menjadi judul sebuah berita.

Jika semua media massa menerapkan bahasa yang tidak sesuai dengan kaidah moral, maka media massa tersebut sama saja seperti media-media kriminal lainnya yang memiliki kaidah tata bahasa yang memprihatinkan. Dewan pers pernah mencatat 4 surat kabar kriminal di Jawa ini memiliki ranking media performance terendah, karena kurang perform dalam code of ethics enforcement.

Wartawan senior, Rosihan Anwar dalam tulisannya di Kompas, 80 % wartawan Indonesia melakukan pemerasan, dan penyakit wartawan the bad guys yaitu, menghasilkan berita cloning, malas, dan bersikap taken from granted/ tidak bersikap kritis.

Tidak hanya media cetak saja, media elektronik juga banyak mengalami kesalahan yang kadang tidak disadari masyarakat. Ambil saja program kuliner, dalam tayangan tersebut si presenter sering  menunjukan reaksi atau raut wajah berlebihan ke penonton dengan kata-kata “sedaaap…..atau hmm…” seolah-olah makanan yang dia makan enak. tentunya reaksi berlebihan seperti tersebut tidak pantas diperagakan dalam kehidupan sehari-hari, karena tanpa reaksi berlebihan seperti itupun masyarakat sudah bisa merasakannya.

Lagi-lagi dengan berita kriminal, sebagian televisi nasional memperagakan berita kriminal dengan penampilan presenter yang kriminal dan tata bahasa yang keras atau ala “Bang Napi”. Tentunya si televisi tersebut, tidak perlu menyikapi dengan sikap demikian. Meski berita yang dia sampaikan berita kriminal, tidak harus si presenter berpenampilan dan bersikap kriminal juga. Masyarakat sudah mengetahui, bahwa informasi yang disampaikan adalah program kriminal.   

Hingga saat ini perkembangan media massa sangat besar sekali. Akankah etika berbahasa semakin dilupakan akibat persaingan dalam media massa tersebut. Masyarakatlah yang mampu menentukannya, marilah kita tinggalkan media yang tidak santun dalam berbahasa, karena mencintai bahasa berarti mencintai negara kita ini.

 

Seluk Beluk Karir Penyiar

Oleh sahabat saya Handewi Pramesti (penyiar TVRI pusat)

Orang memang lebih kenal Ira Kusno yang baru saja menyandang predikat Penyiar Terbaik Pilihan Pemirsa dalam Panasonic Award meski sempat hilang 2 tahun di layar kaca karena meneruskan sekolah di Inggris atau Sandrina Malakiano yang berkibar di Metro TV, namun sebenarnya ada serombongan penyiar yang mungkin teralienasi dari pandangan publik, para penyiar TVRI.

Sosok mereka memang tidak se-glamour para penyiar televisi swasta, namun kerja keras mereka sebenarnya dua kali lipat lebih banyak. Mulai dari jadwal siaran yang tidak menentu, uang honor yang tersendat-sendat sampai penyediaan kostum dari kocek pribadi akibat birokrasi yang njelimet untuk menarik sponsor. Toh tupi

mereka tetap siaran dan mengikuti prosedur penyiaran dan tuntutan untuk tampil sebagai ujung tombak pemberitaan TVRI, stasiun televisi paling tua yang sudah mulai jarang dilirik oleh pemirsa.

Tanpa disadari atau tidak, wajah mereka sebenarnya muncul lebih banyak di rumah-rumah di Indonesia mengingat jangkauan TVRI yang melebihi TV swasta. Bahkan banyak juga warga Indonesia yang berdomisili di Australia, Singapura dan Hong Kong yang menikmati wajah-wajah mereka.

Orang masih teringat akan ketenaran penyiar TVRI di masa lalu saat televisi ini masih memonopoli siaran. Publik pasti masih mengenal nama-nama beken seperti Tuti Aditama, Inke Maris, Idrus, Mariana Ramelan, Yan Partawijaya dan serentetan nama-nama lainnya. Salah seorang dari mereka masih tetap getol untuk siaran dan lucunya, pertama kali berduet siaran dengan beliau, saya geli kalau ingat mengagumi wajah beliau membacakan berita saat umur saya masih awal belasan tahun.

Sebenarnya tiga tahun belakangan sudah banyak wajah-wajah baru bermunculan di TVRI dan tampilan serta kecerdasan mereka sebenarnya tidak kalah dibanding penyiar televisi swasta. Kalau mau ditanya siapa yang disalahkan, nantinya akan merembet ke hal politis juga, akibat banyaknya gonjang-ganjing seputar manajemen TVRI.

“Kesederhanaan” memang sepertinya menjadi image penyiar TVRI. Apalagi sekarang di mana pola menonton kita dan cara kita memilih program televisi sudah sedemikian besarnya dipengaruhi televisi swasta. Apabila diperkenalkan sebagai seorang penyiar TVRI, orang pasti akan langsung bertanya, kenapa tidak pindah saja ke swasta? Dengan asumsi bahwa di TV swasta dengan proporsi siaran yang sama, jalan menuju ketenaran lebih banyak. Seolah-olah menjadi penyiar TVRI tidak terlalu menjanjikan. Agak menyedihkan memang apabila pertanyaan tersebut dilontarkan apalagi apabila diteruskan dengan peryataan: “Wah, nggak pernah liat, habis nggak pernah nonton TVRI.” Mengutip salah satu rekan yang pernah bilang ke saya:”Habis gambarnya kabur, wajahmu ndak jelas.”

Salah satu hal yang juga biasa dihadapi penyiar TVRI adalah saat berkenalan dengan orang baru, mereka kenalan dulu baru menonton sang penyiar siaran ketimbang misalnya mengenal penyiar TV swasta di layar kaca dulu baru ngebet pengen kenalan apabila kebetulan duduk satu meja di café di mal.

Memang sebagian dari penyiar di televisi swasta yang sekarang berkibar paling tidak pernah merasakan menjadi penyiar TVRI. Si garang Rosi Silalahi dulunya bekerja di TVRI sekitar tiga tahun, Sandrina Malakiano dulunya penyiar English News Services di TVRI, program berita berbahasa Inggris yang menelorkan penyiar kondang macam Inez Sukandar, Tiya Diran dan Tengku Malinda.

Anehnya setelah Rosi dan Sandrina mengundurkan diri dan bergabung dengan stasiun televisi swasta, tampilan mereka lebih cemerlang dan malah TVRI bangga bisa menelurkan penyiar sekaliber mereka, bukannya sedih karena penyiar mereka digaet TV lain dan justru kondang di kandang orang lain.

Ketenaran memang bukan menjadi pilihan untuk bekerja menjadi peyiar TVRI. Pada saat menandatangani kontrak, segera lupakan bahwa seorang penyiar TVRI akan langsung ngetop dengan jalan yang sama dengan penyiar televisi swasta.

Banggakah mereka? Ini pertanyaan yang sulit karena porsi kebanggaan dari masing-masing orang berbeda. Yang jelas mereka bangga dengan apa yang mereka lakukan. Biar bagaimana tampil di layar kaca membutuhkan keberanian dan kepercayaan diri.

Kebanggan tersebut kadang-kadang luntur apabila sudah beberapa bulan uang honor tidak muncul-muncul. Hal ini sudah menjadi makanan sehari-hari dan meski sebel sendiri, toh tetap saja mereka siaran dengan senang hati dan tidak lupa tersenyum diplomatis di layar kaca. Kebesaran hati sudah biasa di TVRI. Karena memang tidak ada yang harus dipersalahkan mengapa honor yang rendah masih juga terlambat. Sekali lagi ini nantinya merambat ke political management. Sudah cukuplah media expert saja yang membahas bagaimana memperbaiki TVRI.

Keterikatan batin seorang penyiar dengan TVRI boleh dibilang cukup kuat. Salah seorang mantan penyiar yang sekarang meneruskan program S3 di Jerman pernah dengan semangatnya ingin memberitakan situasi pemilihan suara di Jerman April lalu. Tidak tanggung-tanggung meski sebagai seorang penerima beasiswa dengan kocek euro yang terbatas, dia langsung menempuh perjalanan bolak-balik dari Aachen ke Frankfurt tempat pemungutan suara dilaksanakan, demi TVRI.

Demi telepon jalur internasional yang menginginkan bantuannya untuk memantau pemilu di luar negeri. Meski kecewa karena tidak jadi siaran langsung lewat telepon untuk siaran Dunia Dalam Berita, toh ia tetap berbesar hati dengan menerima keadaan TVRI (tepatnya ketidakprofesionalan) yang gagal melakukan siaran via telepon dengan alasan slot waktu tidak ada. Kebesaran hati memang salah satu syarat utama menjadi penyiar TVRI. Bahkan para mantan penyiar TVRI.

Dibilang susah memang susah, tetapi sebenarnya ada yang bisa dibanggakan menjadi penyiar TVRI. Kalau Plaza Senayan di Jakarta menjadi patokan dikenal atau tidaknya wajah seorang penyiar TVRI, lupakan saja kebanggaan untuk menjadi penyiar TVRI. Publik di sana lebih terbiasa dengan Kania Sutisnawinata atau mantan penyiar RCTI Jason Tedjasukmana.

Namun berjalanlah di desa-desa atau pedalaman di Papua misalnya, ada kemungkinan besar masyarakat akan menyapa nama lengkap mereka dengan pandangan penuh harap untuk berfoto bersama. Sesuatu yang patut dihargai karena biar bagaimana TVRI tetap exist di Indonesia.

 Mungkin ada benarnya semboyan TVRI yang tetap menjalin persatuan dan kesatuan.

 

 

 

Jangan Biasakan Membaca…

Kasus seperti ini paling sering terjadi bagi sebagian penyiar televisi yang baru saja mengawali karirnya sebagai penyiar. 

Cara seorang Penyiar membaca materi berita dari teleprompter (atau naskah di meja siaran) haruslah seakan-akan dia memahaminya dan mengalaminya sendiri. Jika ia terkesan kaku atau malah terdengar hanya membaca naskah milik orang lain, maka penonton tidak akan terhibur mendengarnya/melihatnya.

Pemirsa akan berpikir, “Kalo baca aja sih, saya juga bisa sendiri dari koran!”. Karena asumsi sederhana inilah maka Dokter Penyiar meyakini bahwa berita di TV harus bisa memberi sebuah “pengalaman lebih” dibandingkan yang diterima pemirsa jika ia hanya membacanya (di koran) atau mendengarnya (di radio). Keistimewaan dunia televisi terletak pada kepandaiannya dalam “storytelling” sebuah berita, atau memunculkan video peristiwanya, maupun juga wawancara blak-blakan dengan seorang narasumber yang kompeten.

Tuntutan & keinginan pemirsanya harus dipenuhi Stasiun TV tsb. Kalau Anda ingin jadi Penyiar Berita TV tapi tidak mengerti ketiga hal tsb, sebaiknya Anda beralih ke profesi yang tidak terlalu “melayani orang lain”.

 

v      Hilangkan Jaga Image

 

v      Keberhasilan program tergantung dari kemampuan si penyiar

 

Sebagai langkah awal, sebagiknya diidentifikasikan dulu permasalahan apa saja yang lasim terjadi dalam pengolahan suaran maupun teknik berbicara:

  1. MASALAH SUARA DAN PERNAFASAN
    • Terdengar lemah dan kurang bertenaga
    • Nafas tersengal-sengal dan terdengar desahannya.
    • Parau serta serak
    • Ngotot dan nyaris berteriak.
  2. MASALAH BERBICARA

·         Pengucapan tidak jelas sehingga membuat orang bertanya.

·         Monoton di Intonasi maupun Aksentuasi

·         Kecepatan berbicara terlalu cepat atau terlalu lambat

·         Ritme berbicara tidak stabil

Ada Sedikitnya 7 hal yang harus menjadi perhatian seorang presenter, khususnya yang menyangkut baku mutu suara dan cara berbicara, permasalahan ini sering sekali saya temukan ketika menghadapi sejumlah presenter di tempat saya berada:

·         Berbicara OLAHAN DIAFRAGMA

·         Bernicara dengan INTONASI yang tidak monoton.

·         Memperhatikan AKSENTUASI, berupa penekanan kata-kata tertentu sehingga memudahkan pendengar menangkap pesan anda dan sekaligus membuat pembicaraan menarik.

·         Ketika berbicara tidak seperti orang mengulum atau menggumam, untuk itu diisyaratkan harus melatih pula ARTIKULASI

·         KECEPATAN supaya diperhatikan, jangan terlalu cepat juga tidak terlalu lambat.

·         Waktu berbicara perhatikan pula RITME yang harus teratur…ibarat lagu, bila ritmenya tak beraturan, maka menyulitkan yang mendengarkan.

Ini Bisnis Komunikasi

Televisi merupakan bisnis komunikasi artinya semuanya berhubungan dengan komunikasi dengan masyarakat. Bagaimana cara televisi tersebut dapat berkomunikasi dengan masyarakat dan menarik perhatian dari masyarakat. Bisnis komunikasi ini terbagi atas beberapa bagian, diantaranya: Program dan  Penyiar

Kedua unsur ini merupakan salah satu kekuatan dari dunia televisi disamping dari kekuatan lainnya seperti teknologi dan prasarana lainnya. Apalagi kedua unsur ini saling berkaitan dalam sebuah siaran. Misalnya program talkshow, pemberitaan. Keduanya saling berkaitan. Ibarat sebuah menu makanan yang saling mendukung dari segi penyajian dan rasa makanannya.

Banyak kasus ketidakseragaman antara program dan penyiar selalu muncul yang alhasil membuat program tersebut menjadi tidak efektif dan membosankan. Semua titik utama ada di presenter…Jika sebuah program awalnya tidak menarik akan dapat  diperbaiki dengan cara si presenter membawakan acara tersebut. Namun jika presenternya tidak menarik, maka program apapun yang dibawakannya akan membosankan.

 Seorang penyiar harus menyadari bahwa mereka adalah aset untuk bisa mengembangkan televisi tersebut. Ibarat sebuah duit yang bisa memberikan apa saja untuk mengembangkan sebuah usaha. Your asset is YOURSELF. Therefore You should consistently develop Your values by increasing Your knowledge, capacity, skills, and productivity.

Keistimewaan dunia televisi terletak pada kepandaiannya dalam “storytelling” sebuah berita, atau memunculkan video peristiwanya, maupun juga wawancara blak-blakan dengan seorang narasumber yang kompeten. Tuntutan & keinginan pemirsanya harus dipenuhi Stasiun TV tsb dan si penyiarnya sendiri. Kalau Anda ingin jadi Penyiar Berita TV tapi tidak mengerti ketiga hal tsb, sebaiknya Anda beralih ke profesi yang tidak terlalu “melayani orang lain”.

Cup Of Coffe: Bicara tentang Penyiar Televisi

               Penyiar hm..mungkin siapa saja ingin menjadi penyiar terkenal di sebuah stasiun radio maupun di stasiun televisi. Dengan memiliki talenta dan suara yang bagus, wajah yang cakep dan cantik mungkin siapa saja bisa menjadi seorang penyiar. Modal-modal seperti itu kadang selalu menjadi sebuah kebutuhan utama bagi seseorang untuk ingin menjadi penyiar baik penyiar radio dan televisi. Penampilan dan gaya yang asik selalu mendambakan seorang untuk menjadi seorang penyiar yang baik, dan dia harus memiliki  talenta di dalam diri sendiri. 

 

            Namun siapa sangka bahwa semuanya itu tidak cukup. Banyak hal-hal yang mesti diperhatikan dalam melakukan siaran. Misalnya penyiar radio yang akan beralih ke penyiar televisi. Serupa tapi tidak sama, model ini memang sangat berbeda, mulai dari format suara hingga format penyampaian. Radio tidak membutuhkan penampilan bagaimana bisa memberkan Suara memang membentuk theater of mind, yang hasilnya bisa berbeda-beda di benak setiap orang. Itulah kekuatan dahsyat sebuah media bernama radio.

Ada yang menyebut profesi sebagai “Newsreader” atau “News Presenter:. Isitilah “Newscaster” adalah sebutan untuk Broadcaster yang bergerak di bidang News, tapi tidak eksklusif untuk penyiar Televisi. Sedangkan “News Anchor” merujuk pada fungsi penyiar tersebut menjadi kendali-acara bagi berbagai reporter yang sedang meliput berita di lapangan pada saat bersamaan.

 Memang istilah “newsreader” masih sedikit ditentang karena memberi kesan bahwa penyiar tersebut hanya membacakan naskah berita saja, padahal seorang penyiar berita televisi profesional juga turut sibuk mencari beritanya. Itulah sulitnya dan sangat lemah jika presenter yang kita pakai adalah mereka seorang freelance yang terkadang datang siaran, pulang bermain, demikian berikutnya.

Untuk menjadi penyiar di era sekarang ini lebih sulit karena anda harus punya lebih dari sekedar golden voice. Anda harus punya jiwa entertainer, harus mampu berekspresi secara flexible, harus terdepan mengikuti segala trend lifestyle dan information, dan harus siap (tanpa cengeng, tanpa mengeluh) untuk tampil di depan pendengar/ penonton manapun untuk memenuhi keinginan pemirsa dan klien yang membayar anda.

 Penyiar harus berwawasan agar siarannya hidup, dinamis, berisi, dan tidak monoton.  Jika anda tidak berbawasan jangan harap anda akan menjadi penyiar unggul dan berkualitas. Kosakata, varietas kata, improvisasi, hanya bisa dilakukan oleh penyiar yang berwawasan luas. Karena itu, banyak baca, jadilah orang yang haus pengetahuan! Dijamin, jika Anda berwawasan luas, takkan kehabisan kata-kata untuk berbicara.

Modal apa saja sih yang diharapkan untuk menjadi seorang penyiar?

Pertama, kita harus disiplinkan diri agar bisa selalu berusaha menghibur
Audience:jangan berfikir untuk jadi Penyiar jika Anda sulit menepati janji
dengan orang atau sering berganti mood setiap hari. Kalau Anda mengalami
kesulitan untuk mengendalikan ekspresi diri karena mood Anda mudah
berubah-ubah bagaikan cuaca, lebih baik Anda kerja di balik komputer
ketimbang di studio siaran.

Kedua, kita harus in-touch dengan apa yang sedang menjadi pusat perhatian Audience kita; dengan kata lain, kita harus “gaul” seperti mereka. Kalau ingin bekerja di radio otomotif, misalnya, biasakanlah diri dengan hobby mobil dan motor. Jika ingin menjadi pembaca berita di Metro-TV, biasakanlah mengkonsumsi berita setiap hari.

 Ketiga, kita harus terbiasa disuruh-suruh sesuai tuntutan klien atau program. Dalam prakteknya tuntutan ketiga ini sangat bervariasi, misalnya Anda :

  • Diberi jam siaran Minggu pagi, padahal Anda paling susah bangun pagi
  • Harus mewawancarai seseorang yang Anda sangat tidak suka
  • Dituntut memakai celana pendek saat jadi TV-host, padahal lutut Anda jelek.
  • Diminta diet drastis karena setelah melahirkan koq terlihat gemuk di kamera
  • Dengan kata lain, kalau Anda merupakan tipe orang yang cenderung membantah perintah atau setiap hari masih dibangunkan oleh Mama, maka sebaiknya Anda kerja di bank saja… atau bikin perusahaan sendiri.

Apalagi tugas sebagai Penyiar menuntut Anda bisa memenuhi keinginan Audience, no matter what the conditions and no matter who the Audience is.

Seorang penyiar sebenarnya bukan profesi yang mudah untuk dijalani, karena penyiar harus mampu berkomunikasi dengan baik kepada pendengarnya. Karena inilah yang menjadi modal utama bagi seorang penyiar radio. “Kalau kita mendengarkan radio dan menonton televisi, sepertinya penyiar itu kerjanya enak, cuma ngomong-ngomong saja. Tetapi itu sebenarnya sulit, karena kita harus selalu bisa bercerita. Kalau kita diam pasti tidak enak didengar pendengarnya.

Situasi seperti ini sering saya alami ketika saya sudah bersiaran selama 7 Tahun di dunia Broadcasting mulai dari radio UNISI, Kantor Berita Radio 68H Jakarta, dan terakhir di JOGJATV. Apalagi ketika kita akan melakukan siaran secara tiba-tiba atau satu jam sebelum siaran, kita diminta untuk membawakan acara dialog yang topiknya belum kita ketahui sama sekali. Nah di dalam kondisi seperti ini kita harus sudah mempunyai ancang-ancang dengan menyiapkan segala bahan penting untuk dialog, siapkan sebanyak-banyaknya dari pada kita tidak mempersiapkan sebanyak mungkin.

Misalnya kasus meninggalnya mantan presiden RI Suharto…Siapapun tidak akan dapat menduga kapan Suharto meninggal, meski dari awal kita sudah mengetahui bahwa Suharto dalam kondisi kritis. Nah di sini kita sudah mempunyai ancang-ancang yaitu mencari sebanyak-banyaknya data tentang Suharto.

Waktu itu saya mulai pesimis…bahwa Suharto akan sehat dan tidak jadi meninggal. Mendengar kabar tersebut kinerja kita mulai tidak menentu dalam mencari bahan bahkan saya mengambil jatah libur dalam beberapa hari ketika Suharto dalam kondisi kritis, namun kita tetap menyimpan data-data tersebut.  Ternyata tiba pada waktunya…Suharto meninggal, nah tepat pada hari penguburan saya harus membawakan siaran breaking news edisi perginya Suharto, mulai pukul 07.00-13.00WIB

Sementara waktu itu saya libur, artinya saya tidak mengikuti perkembangan kondisi kesehatan Suharto. Namun dihari penguburan saya harus membawakan siaran…beruntung saya sudah mempunyai data-data tentang kehidupan suharto, yang akhirnya kita berhasil membawakan siaran hingga setengah hari, tidak hanya breaking saja namun ada talksownya waktu itu bersama Nasruddin Anshory.

Menjadi seorang penyiar unggul tidak hanya enak-enaknya saja tapi harus merasakan pahitnya, mereka harus mampu berpikir kritis setiap harinya, rajin membaca dan siap menghadapi berbagai topik pembahasan mendadak. Dialog 30 menit di JOGJATV yang saya bawakan hampir 1 setengah tahun setiap hari, membuat saya harus berfikir setiap hari, apalagi saya sekaligus produser dan presenter.

Bagi setiap Stasiun TV adalah Anda dapat membuktikan kemampuan diri pada saat dilakukan screen-test, simulasi reportase & wawancara di lapangan, dialog di studio, dan menyampaikan berita dari materi yang muncul di Teleprompter. Sedangkan yang penting bagi Anda adalah persiapan sendiri : latihan mengatasi grogi di depan kamera serta membekali diri dengan pelatihan Penyiar yang berkualitas. Contoh: Jika ingin jadi penari balet yang handal, tentu Anda harus mencari guru yang telah menghasilkan penari2 balet terbaik.

 Kondisi ini kadang membuat pikiran jenuh..namun tips dan trik yang saya lakukan adalah, mencoba untuk menyenangi topik tersebut tanpa harus pilih bulu.  Selama ini saya membawakan siaran yang berisikan tentang Politik, Sosial, Budaya dan Perekonomian dan kehidupan masyarakat. Lalu..kita harus menyadari apakah kita sanggup membawakan topik tersebut jika tidak jangan sekali-kali diangkat.

Mencari bahan-bahan dialog harus rajin kita lakukan baik dari internet dan dan surat kabar, sekecilapapun referensi itu sangat penting sebagai bahan dialog kita. hal ini untuk menambah pengetahuan kita tentang segala sesuatu hal.

Ketika berkecimpung di dunia televisi saya banyak mengalami kendala dalam siaran, terutama mewawancarai mantan menteri, atau pengamat sosial seperti Anand Khrisna. Waktu itu saya pernah berdialog dengan mantan menteri kehutanan..(saya lupa namanya) mengangkat tema tentang pemanfaatan sumber daya alam…topik ini mendadak sekali karena ketepatan datang ke yogyakarta. Awalnya saya berkeringat dan grogi karena baru pertama kali menghadapi seorang menteri. Kata demi kata harus tersusun dengan rapi, karena sangat berpengaruh kepada citra diri kita. Trik yang saya lakukan adalah, forget all the question taq, gunakan cara dirimu ketika berbicara dengan orang lain, kembangkan apa yang telah dia jelaskan…misalnya “emang kenapa jika  hutan kita diberikan sebanyak-banyaknya kepada masyarakat….”

Di dalam buku ini saya tidak bercerita banyak bagaimana tips dan trik menjadi seorang penyiar yang baik, melainkan kesalahan-kesalahan apa saja yang harus dihindari seorang penyiar terutama dalam menjalankan talkshow dan  membaca berita. Banyak kesalahan-kesalahan seorang penyiar dalam membawakan sebuah acara talkshow, terutama mereka yang menganggap pekerjaan seorang penyiar hanyalah sampingan sekedar ceriwis dan ketawa, sekedar bertanya “apa..dan mengapa…apakah“ bukan menelahaan isi dari perbincangan ”datang berbicara lalu pulang” Banyak penyiar pemberitaan dan talkshow mengupas sebuah perbincangan dari luarnya saja sehingga dia tidak mampu membawakan dialog tersebut lebih bermakna dan lebih mendalam. 

Apakah anda siap untuk menjadi seorang penyiar yang baik…jika ya..anda bisa mengikuti beberapa pembahasan dalam buku ini.

Televisi Bukanlah Radio

 

 Televisi bukanlah radio..ya itulah yang mungkin bisa disampaikan terlebih dahulu kepada seseorang yang ingin menjadi anchor/penyiar. Mereka terlebih dahulu harus memilih jenis media apa yang harus mereka jalani, jangan sampai kedua media mereka jalani secara bersama-sama, sementara belum memiliki keahlian sama sekali dalam bidang kepenyiaran.

Hukum sebuah penyiaran adalah format suara dari radio belum tentu pas buat format televisi. Karena gaya dan cara penyampaian sudah berbeda walau sama-sama menyampaikan sebuah siaran. Biasanya seorang penyiar radio belum tentu mampu siaran di sebuah televisi, namun seorang penyiar televisi biasanya lebih mahir ketika mereka hendak menjadi seorang penyiar radio, karena tingkat kesulitannya lebih rendah daripada radio.

Banyak memang seorang penyiar televisi awalnya dari seorang penyiar radio, namun banyak juga seorang penyiar radio justru gagal untuk menjadi seorang penyiar televisi walau tidak dapat kita pungkirin ada juga yang berhasil.

 Kesalahan seorang penyiar yang berasal dari seorang broadcaster radio adalah cara pembawaan mereka ketika dihadapkan pada dunia televisi, apalagi ketika mereka dihadapkan pada sebuah siaran berita…kakunya bukan main, badan bergerak ke sana kemari, mimik yang begitu lentur sehingga pengaturan bibir ketika hendak siaran menjadi tidak tegas.

Selama saya menjadi produser dan redaktur pelaksana di JOGJA TV dan melakukan pelatihan di sejumlah lembaha, banyak penyiar-penyiar berita kami yang berasal dari radio gagal untuk siaran di televisi. Itu memang sudah merupakan sebuah pengaturan sistem, mereka sudah dibentuk siaran radio seperti itu yang akhirnya ketika dibawa ke dunia televisi akan gagal.

Banyak pertimbangan yang harus dilakukan ketika anda beralih profesi dari radio ke televisi. Anda harus menyadari bahwa televisi tidak hanya mengunggulkan suara anda saja, melainkan sebuah penampilan menyampaikan sebuah berita, dan cara berbicara di depan kameran. Jangan terlalu bangga dulu walau anda sudah biasa siaran namun untuk di depan televisi lebih berat dari radio.

Dulu kami memiliki sekitar 6 orang penyiar televisi semuanya berasal dari radio. Namun setelah mereka melaksanakan siaran selama beberapa minggu, ternyata mereka gagal dalam segi penampilan dan mimik penyampaian.

Ada beberapa hal kesalahan seorang penyiar radio beralih ke televisi:

  • Gaya penyampaian radio yang biasanya dibarengi dengan gerak badan ke kanan ke kiri menjadi sebuah kebiasaan ketika mereka muncul di depan televisi..sehingga pernah seorang penonton memberi komentar kepada kami apakah penyiar anda ambeyen…bergerak ke sana kemari…” mengapa dengan bibir penyiar anda, melengkung ke kiri dan ke kanan”
  • Atau justu sikap badan yang kaku, banyak para penyiar muda kurang memperhatikan dan melakukan evaluasi sikap mereka ketika berbicara di depan kamera. Selama ini mereka terbiasa dengan suara, namun lupa akan gerakan yang formal di depan kamera. Hal hasil sebuah gera 
  • Kesalahan dalam memilih penampilan atau penggunaan kostum yang terlalu berlebihan. Penampilan dalam berkostum sangat berpengaruh dalam memberikan image yang bagus dalam siarannya tersebut.

Ada beberapa perbedaan dalam melakukan wawancara di radio dan televisi, diantaranya: di televisi jika si presenter dalam melakukan wawancara melihat si narasumber tampak berkeringat dan matanya sedikit aneh, ada kemungkinan bahwa si narasumber merasa tidak nyaman dalam menjawab pertanyaan yang diajukan. Sementara jika di radio tidak ditemukan hal-hal seperti ini. Nah di sinilah sikap dari penyiar yang biasanya beralih dari radio ke televisi menyikapi situasi seperti ini.  Karena itulah sebagai penyiar harus wajib hukumnya memiliki pengetahuan yang tinggi terhadap aktivitas seseorang atau ‘inquisitive about other people’s business’

Radio mampu memberikan style suara namun belum mampu meberikan keutuhan secara keseluruhan baik dalam sikap, penampilan dan cara berbicara yang baik. Namun jika anda bekerja awalnya dari radio hal itu merupakan nilai positif, karena anda sudah mempunyai bekal menjadi seorang penyiar, baik dari suaru dan cara berbicara.

Hal lain yang paling mengejutkan bagi para Penyiar Radio yang mencoba jadi Penyiar TV adalah transisi dari studio siaran yang hanya dia seorang diri (dan leluasa berekspresi dengan segila-gilanya) lalu berganti menjadi sebuah studio siaran TV yang dipenuhi oleh petugas2 lainnya, misalnya:

·         Kamerawan (satu/dua untuk News, hingga tiga untuk program)

·         Floor Director (menjembatani antara tuntutan Produser dengan kondisi kerja Penyiarnya)

·         Scriptwriter (utk mengedit teleprompter atau menambahkan materi jika ada Breaking News)

·         Petugas make-up/wardrobe yang siap menyempurnakan wajah/ rambut/ dan busana anda

·         Program Director / Producer (biasanya di ruang Master Control mengawasi urutan item Berita dan menyutradarai programnya secara umum)

Kerumitan dan perhatian berbagai orang tsb harus Anda netralisir (baca: cuekin) karena perhatian Anda adalah berinteraksi dengan Audience melalui materi baca. Belum lagi jika ada urutan perpindahan kamera yang harus Anda hafalkan, misalnya Opening di Cam-1, Materi Berita di Cam-2, dan Closing di Cam-3. Sambil ini semua berlangsung, waktu dan siaran berjalan terus sehingga Anda tak pernah boleh lupa atau salah bicara.

Floor Director(FD) membantu Anda dalam berbagai hal, misalnya memberi Anda aba-aba “5, 4, 3, 2…”, memeriksa sudut & zoom Camera terhadap Anda, memastikan semua peralatan (mic, kamera, lampu, monitor, dll) bekerja dengan baik, dan mengoperasikan scrolling pada teleprompter.

Bagi anda yang ingin beralih dari radio ke televisi anda bisa melihat perbandingan di bawah ini, Menurut survey di Amerika Serikat, penyiar yang disukai apabila:

·         Mempunyai kepribadian yang mengesankan “humble (suka merendah)”, tidak sok atau merasa lebih tinggi, dan harus berjiwa besar.

·         Selalu “segar (fresh)” dalam membawakan acara atau menyampaikan berita dan “menyenangkan” dalam setiap performance-nya. (Catatan: Menyenangkan bukan berarti harus selalu melawak).

·         Setiap apapun yang disampaikannya selalu sangat berarti bagi pendengar/penontonnya.

·         Mampu mengendalikan situasi agar tetap dalam jalur acara, sementara tetap menghargai tamu, penonton atau pendengar.

 

Penyiar:Pekerjaan VS sampingan

Kebanyakan para penyiar menilai bahwa “profesi” sebagai penyiar adalah kerja sampingan, tertuama bagi mereka yang sudah memiliki pekerjaan utama maupun masih berstatus mahasiswa. Image seperti inilah membuat profesi seorang penyiar semakin menurun, pasalnya mereka bekerja tidak  secara serius, melainkan datang, cuap-cuap dan pulang. Jarang sekali seorang penyiar untuk mengevaluasi kekurangannya selama usai siaran, hampir usai siaran mereka langsung pulang tanpa meemeriksakan kembali hasil rekaman selama mereka melakukan siaran. Ada beberapa alasan yaitu sibuk dan ada kerjaan lain.

Proses-proses seperti ini akan dapat mengurangi kredibilitas dari penyiar tersebut. Bahkan penonton yang menyaksikannya si presenter tersebut tidak pernah belajar dari sebuah kesalahan, kesalahan demi kesalahan terus dia pergunakan dalam bersiaran hal hasil kesalahan tersebut akan menjamur dalam diri dia.

Pekerjaan sebagai presenter jangan diabaikan atau hanya sebagai pekerjaan sampingan saja, meski mempunyai pekerjaan tetap lain namun anggaplah itu salah satu pekerjaan utama anda sebagai penyiar, dan anggaplah bahwa diri anda itu sebagai sosok yang akan dipergunakan masyarakat untuk menghibur hati dan pikiran dari penonton.Artinya adalah belajar untuk memperbaiki sikap dan penampilan anda termasuk ubahlah braind pikiran anda menjadi lebih baik lagi dengan lebih cerdas, komunikatif dan menarik perhatian dari si penonton.

Selama saya bekerja di dunia televisi, kredibilitas si penyiar baik yang menganggapnya sebagai kerja sampingan membuat dirinya menjadi bodoh diantara penyiar lainnya. Cara dia membawakan siaran tersebut akan terlihat, mana yang benar-benar memanfaatkan dirinya sebagai penyiar dan mana yang menganggap bahwa menjadi status menjadi penyiar tersebut hanya 30 atau 1 jam saja, lepas dari situ anda bukan penyiar.

Cara dia menyampaikan kadang tidak sesuai dengan target keinginan dari si produser, bahkan titik point yang disampaikan tidak sampai sehingga pembicaraan tersebut menjadi “ngawur kidul” beda jika anda menjadi presenter televisi komedi. Bahkan kekompakan antara dari si penyiar dengan si narasumber selalu tidak tepat. Di saat si narasumber sedikit lembut dan diam, si penyiar justru “terkakak..kikik…” atau justru senyum yang terlalu dibuat-buat untuk menjunjukan rasa empati dia terhadap narasumber dan program tersebut.

Analisis Hasil Siaran

Dimana-mana setiap televisi maupun radio menggunakan sistem evaluasi dari siarannya tersebut, sistem ini dilakukan untuk mengembangkan kinerja dari penyiar dalam membawakan sebuah acara dialog. Biasanya sistem evaluasi ini tidak melalui rapat redaksi, produser maupun si penyiar hanya melihat kinerja dari si penyiar selama menjalankan tugasnya. Kemudian hasil pengamatan tersebut akan didiskusikan kepada direktur perusahaan atau kepala siaran. Sebab yang memantau secara langsung kerja dari para penyiar ini adalah produser sendiri, meskipun hasil; evaluasi secara umum berada pada pihak Manajemen. 

Bagi kalangan penyiar televisi jarang memakan pola acara mingguan, bulanan dan tahunan. Karena siaran dialog yang mereka gunakan adalah sistem segera seperti pemberitaan, dan dialog reguler., dimana suatu topik tertentu ditentukan dalam sehari sebelum siaran dilaksanakan.

Mengambil waktu untuk menganalisis siaran anda adalah suatu hal yang paling utama, walau apapun yang telah banyak kamu peroleh meniti karir seorang penyiar.Ada beberapa langkah yang harus anda lakukan ketika akan melakukan analisis siaran kita: pertama perhatikan hasil siaran anda melalui video, kemudian tulislah kesan anda pertama terhadap hasil siaran yang telah anda bawakan. Setelah itu, barulah kita dapat melihat seberapa besar program tersebut dapat mempengaruhi pemirsa untuk menonton.

Analisislah acara tersebut lebih dari apa yang anda saksikan. Tidak  masalah apakah ini adalah hasil pekerjaan anda atau hasil program orang lain-kemudian jelaskanlah atas hasil dialog tersebut. Beberapa prinsip yang harus anda lakukan diantaranya:

·         Cobalah semampu anda untuk menyaksikan sesering mungkin hasil siaran anda dari cakupan sistem penyiaran yang luas.

·         Berikanlah perhatian lebih ketika anda melakukan wawancara, bagaimana setting cara kita melakukan wawancara. Bagaimana penggunaan bahasa yang kita lakukan tersebut, agar dapat menarik perhatian dari penonton dan si narasumber.

·         Perhatikanlah bentuk-bentuk daftar list pertanyaan yang telah kamu buat dan  dan alur-alur pertanyaan lainnya seiring berjalannya dialog.

·         Perhatikanlah bagan dari hasil pertanyaan anda, apakah pertanyaan anda tersebut terjawab sepenuhnya, jika tidak sesuai dengan pertanyaan atau hasil wawancara gagal, carilah opsi pertanyaan lain untuk mengklarifikasi pertanyaan sebelumnya.

·         Analisislah hasil dari dialog tersebut sebelumnya untuk mengetahui apakah siaran dialog tersebut rekaman atau tidak, apakah perlu sebuah editan. Hal ini untuk meminimalisir sebuah kesalahan-kesalahan dalam dialog.

·         Bagaimana pendapat anda terhadap hubungan atau kedekatan anda sebagai pewawancara dengan si narasumber? Apakah sopan atau tidak mengenakan? Apakah hubungan selama dialog berlangsung mengalami perubahan sebelum melakukan wawancara, hal ini untuk menetralisir hubungan antara penyiar dan si narasumber.

·         Apakah anda dengan narasumber anda berbicara dengan tegas? Apakah anda percaya terhadap apa yang mereka katakan? Mengapa? Atau apakah penampilan anda ketika mewawancarai narasumber stabil dengan sistem si narasumber yang terlalu menjelek-jelekan sesuatu hal?

·         Catatlah apakah narasumber yang telah kita ajak dialog sudah tepat dan sesuai dengan topik yang diangkat? Jika tidak siapa narasumber lain yang harus anda undang?

·         Buatlah batasan-batasan durasi selama anda melakukan wawancara, dan seberapa lama pertanyaan tersebut dijawab oleh narasumber. Hal ini untuk menghindari keterbatasan waktu serta agar dapat mengupas lebih jauh pertanyaan-pertanyaan efektif lainnya.

·         Jika penting, jabarkan hasil wawancara dan ikutilah hasil wawancara asli anda selama berbicara. Anda akan mendapatkan sebuah gambaran seberapa pentingnya tone of voice untuk memahami terhadap apa yang kita sampaikan, dan bagian kalimat mana yang perlu kamu intrepetasikan dalam sebuah percakapan.

Cakupan-cakupan seperti ini akan memberikan gambaran, bahwa diri anda giat dalam mempelajari sebuah proses siaran secara otodidak. Anda juga dapat melihat bagaimana jika anda adalah seorang penontot yang menyaksikan siaran tersebut, tentunya pendapat positif dan negatif keluar dari diri saudara terhadap siaran tersebut.

            Biasanya dari hasil analisis tersebut kita pasti mengetahui arah dan tujuan dari perbincangan tersebut, apakah sesuai dengan kaidah jurnalistik